Globalisasi Neoliberalisme Mencengkram Dunia





Globalisasi sering dipersepsikan orang dengan perkembangan teknologi yang luar biasa pesat, ruang dan waktu sudah bukan hambatan besar bagi umat manusia untuk bisa berkomunikasi. Mobilitas manusia semakin tinggi, pertukaran kebudayaan berlangsung intens, batas-batas negara semakin menipis.
Gejalanya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga wajar bila sebagian kalangan menganggap globalisasi merupakan keniscayaan sejarah. Kehadirannya tak bisa ditawar-tawar lagi. Siapapun yang tidak mengikutinya akan tergilas habis. Globalisasi juga menawarkan peluang besar. Dari sisi ini, cukup masuk akal apabila penghuni bumi menyambutnya dengan penuh antusias.
Sayangnya, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Munculnya pertanyaan mengenai “siapa mendapat apa”, sangat mengganggu keindahan globalisasi. Revrisond Baswir, ekonom dari Universitas Gajah Mada, mengingatkan bahwa penipisan batas-batas negara dan keampuhan media komunikasi ternyata membuka peluang bagi sekelompok kecil masyarakat lapisan atas untuk mengembangkan dominasi ekonominya ke seluruh penjuru dunia. “Globalisasi menjadi jalan bebas hambatan bagi mereka untuk menguasai dunia,” ujarnya ketika berbicara sebagai panelis pada acara Konferensi Rakyat yang diselenggarakan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Jakarta,  Selasa (19/4).
Ditinjau dari kecamata sosial ekonomi, wajah globalisasi menjadi begitu menakutkan. Terutama bagi rakyat di negara-negara miskin.  Walaupun mereka memiliki sumber daya alam melimpah, namun pengelolaannya selalu jatuh kepada para pemodal besar dari negara-negara kaya.
Ketimpangan penguasaan ekonomi dunia semakin menganga dengan munculnya perusahaan-perusahaan multinasional. Dari 100 lembaga paling kaya di dunia (termasuk negara), 51 di antaranya adalah perusahaan. Pendapatan Toyota, sebuah produsen kendaraan bermotor dari Jepang, melebihi GDP Thailand, pendapatan Mitsubishi melebihi GDP Indonesia, pendapatan Ford Motor Company melebihi GDP Afrika Selatan. Beberapa orang terkaya dunia pendapatannya melebihi pendapatan negara-negara di dunia ketiga. Sementara itu, di negara-negara dunia ketiga masih banyak penduduk yang menderita kekurangan gizi dan kelaparan.
Melihat ketimpangan ini sebagian ekonom memperingatkan, masalah terbesar di dunia bukanlah kekurangan sumberdaya melainkan distribusi yang tidak merata. Dan, biang keladi dari ketimpangan distribusi adalah sistem perdagangan yang tidak adil dan menindas. Apalagi setelah berkembangnya sistem perdagangan multilateral yang direkayasa kelompok negara-negara kaya dengan dibentuknya World Trade Organization (WTO).
Kehadiran WTO semakin menyudutkan posisi negara-negara miskin. Dengan WTO, negara-negara kaya memaksa negara-negara miskin untuk meliberalisasikan sistem perdagangannya. Tujuannya agar produk-produk perusahaan besar dari negara kaya bebas leluasa memasuki pasar di negara-negara miskin.
Dari sudut budaya, fenomena dominasi segelintir kaum berpunya tersebut memiliki dampak serius terhadap perkembangan budaya negara-negara miskin. Budaya dikendalikanr sesuai dengan kepentingan bisnis mereka. Produk-produk kebudayaan semakin dikomersialisasikan. Sedangkan produk budaya yang tidak bisa dijadikan alat untuk akumulasi modal digusur kebelakang sehingga kehilangan tempat dalam ranah kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan selanjutnya, benarkah globalisasi suatu keniscayaan sejarah? Revrisond mempunyai pandangan lain, menurutnya globalisasi penuh dengan muslihat segelintir kaum untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. “Globalisasi bukan suatu hal yang tidak bisa dikoreksi, bukan keharusan sejarah,” papar dia.
Globalisasi neoliberalisme
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, globalisasi tidak bisa dipisahkan dengan neoliberalisme. Dan, neoliberalisme sendiri bukanlah paham baru, melainkan penyempurnaan tehadap paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith. Suatu paham yang sangat mempercayai kekuatan pasar dalam mengalokasikan sumber daya secara efektif. Paham neoliberalisme sering juga disebut paham ekonomi neoklasik.
Para penggagas awal neoliberal antara lain, Alexander Rustow dan Walter Euckeb. Pada tahun 1932 mereka mengusulkan agar penyelenggaraan ekonomi pasar disempurnakan dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat kebijakan.
Dalam perjalanannya, paham neoliberal sempat tesisihkan oleh usulan John Maynard Keynes yang terkenal dengan konsep ekonomi negara kesejahteraan. Dalam konsep Keynes, peran negara dalam ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat kebijakan. Kewenangannya diperluas meliputi hak intervensi moneter dan fiskal, khususnya untuk menggerakan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.
Kekalahan ekonomi neoliberal ini terlihat di konferensi keuangan dan moneter yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada tahun 1944. Dalam konferensi yang dihadiri oleh Keynes, tercapai kesepakatan untuk mendirikan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk rekonsiliasi dan Pembangunan (IBRD), yang terakhir lebih dikenal dengan nama Bank Dunia.
Namun dominasi konsep ekonomi negara kesejahteraan di badan-badan tersebut tidak bertahan lama. Ketika Ronald Reagen terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat dan Margareth Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, paham ekonomi neoliberal mendapatkan momentum baru. Paham ekonomi neoliberal mulai mendapatkan tempatnya kembali. Gagasannya diperbaharui oleh mazhab Chicago dibawah kepemimpinan Miltorn Friedman. Kemudian, dengan menggunakan instrumen Bank Dunia dan IMF, paham ini disebarluaskan keseluruh dunia.
Di Indonesia, agenda ekonomi neoliberal mulai dilaksanakan pada pertengahan tahun 80-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Aktivitasnya semakin meningkat tatkala krisis ekonomi 1997 melanda. Indonesia secara resmi mengundang campur tangan IMF untuk memulihkan perekonomian. Pemerintahnya diwajibkan untuk melaksanakan agenda ekonomi neoliberal melalui penandatanganan Letter of Intent (LoI).
Penetrasi paham neoliberalisme terasa semakin kencang dengan berhembusnya isu globalisasi. Dengan alasan itu, segala hambatan baik yang berupa undang-undang suatu negara maupun budaya bisa disingkirkan.
Globalisasi dan nasib negara miskin
Revrisond menilai, pada dasarnya globalisasi merupakan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal. Prosesnya terjadi secara sitematis dengan merombak strukur perekonomian negara-negara miskin, mengkerdilkan peran negara dan meningkatkan peran pasar. Sehingga, mempermudah dilakukannya pengintegrasian dan pengendalian perekonomian negara-negara miskin oleh para pemodal yang berasal dari negara-negara kaya.
Dengan globalisasi, peran pemerintah di negara-negara miskin cenderung mengalami perubahan fungsi, dari melayani kepentingan rakyat menjadi pelindung bagi kepentingan pemodal internasional. Bahkan pada tingkat paling ekstrem, pemerintah di negara-negara miskin terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.
Di tingkat makro, perekonomian negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekoniman negara-negara kaya. Negara-negara miskin semakin tergantung kepada jaringan kekuatan modal. Akibatnya, secara domestik akan memicu porak-porandanya fondasi integrasi sosial antara berbagai strata sosial dan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat negara yang bersangkutan.
Dua ilmuwan kenamaan, Patras dan Veltmeyer, terang-terangan menyebut globalisasi sebagai imperealisme. Mereka menegaskan, dibalik penyebarluasan konsep globalisasi, sesungguhnya bersemayam kepentingan kelas atas tertentu, yaitu kelas kapitalis internasional baru.
Reaksi menentang globalisasi tidak hanya datang dari kalangan ilmuwan. Semakin hari semakin banyak upaya penolakan dan perlawanan dari masyarakat luas terhadap jalannya globalisasi. Secara garis besar, Revrisond membagi perlawanan tersebut kedalam tiga kelompok besar. Pertama, perlawanan terhadap pelaksanaan agenda-agenda globalisasi. Dalam hal ini yang dipermasalahkan adalah soal waktu, sekuen, dan orang atau lembaga yang melaksanakannya.
Kedua, perlawanan terhadap agenda-agenda globalisasi. Perlawanan ini diarahkan terhadap agenda-agenda tertentu secara spesifik.  Karena hanya diarahkan pada agenda-agenda tertentu, perlawanan semacam ini bersifat parsial.
Ketiga, perlawanan terhadap neoliberalisme atau ideologi yang melatarbelakangi konsep globalisasi. Globalisasi langsung ditolak pada tingkat paling prinsipil. Agenda-agenda ekonomi tertentu yang berada dibawah payung globalisasi mungkin masih bisa dilanjutkan, tetapi bukan karena agenda itu bagian dari globalisasi, melainkan karena kesesuaiannya dengan prinsif alternatif.
Revrisond berpendapat, globalisasi neoliberalisme harus dilawan dari tingkat ideologinya. Untuk mencapainya, para pemimpin negara-negara miskin perlu membekali diri dengan kemauan politik yang kuat dan mempererat hubungan antar sesama negara miskin. Karena hanya dengan bekal itu, negara-negara miskin dapat meningkatkan posisi tawar dihadapan oligarki modal dan negara-negara kaya. Dalam penutup makalahnya Revrisond menuliskan, “Imperealisme globalisasi negara-negara kaya memang harus secepatnya di hentikan. Semakin cepat semaikn baik.”
Cecep Risnandar







spacer


Sebenarnya Indonesia memiliki beberapa keunggulan, yang bahkan tidak dapat disamai oleh negara maju sekalipun. “Raksasa-raksasa” riset dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa tentu saja memiliki keunggulan dana yang berlimpah, fasilitas yang memadai, dan referensi yang lengkap. Jika akhirnya Indonesia memilih berhadapan dengan mereka, dengan menggunakan pola pikir mereka juga, maka sudah dipastikan Indonesia tidak akan bisa kemana-mana. Namun, apa saja keunggulan Indonesia, dibanding “raksasa-raksasa” itu, terutama bidang yang bisa dikembangkan untuk riset? Apakah masih ada harapan untuk berdiri sejajar dengan mereka? Mari kita simak.
Pemetaan Kekuatan Riset Kita. Selama ini, Indonesia memiliki kekuatan sumber daya manusia yang luar biasa. Banyak sekali ilmuwan dan dosen lulusan luar negeri, yang memiliki pengalaman riset internasional, yang akhirnya kembali ke Indonesia. Mereka pun mengabdi di institusi masing-masing. Adapun, dengan modal SDM yang kuat itu, ada baiknya kita mulai memetakan dimana kita bisa memfokuskan diri dalam riset. Pemetaan ini penting, sebab kita harus mencari niche, dimana keunggulan kita dapat tumbuh, ditengah para raksasa riset dunia. Biologi Kelautan: Megabiodiveristas yang Luar Biasa. Sebagian besar luas Indonesia terdiri dari laut. Di dalamnya, terdapat megabiodiversity yang luar biasa variasinya. Indonesia merupakan salah satu negara, yang memiliki terumbu karang yang paling kaya. Salah satu rekan kami, Hawis Maduppa, merupakan salah satu peneliti yang aktif dalam kajian terumbu karang. Linknya ada disini: http://bunghaw.wordpress.com/. Sebagai salah satu sumber megabiodiversity, laut kita memiliki sumber daya hayati yang berlimpah untuk berbagai keperluan, seperti pangan dan obat. Adapun masalah yang dihadapi adalah bagaimana manajemen kelautan tersebut bisa mengatasi berbagai penyimpangan yang terjadi, misalnya menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan, dan membangkitkan semangat entrepreneurship bagi para nelayan. Dengan pemanfaatan sumber daya hayati secara sustainable, dan tetap menjaga kelestarian ekosistem, maka Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih baik dengan negara-negara maju. Penyakit Tropis: Kajian yang Hanya Bisa Dilakukan di Negara Tropis. Demam Berdarah dan Malaria adalah penyakit mengerikan yang belum ada obatnya sampai sekarang. Vaksin masih dikembangkan, namun belum selesai. Selain itu, penyakit-penyakit ‘klasik’ di dunia tropis, seperti Kolera, disentri, dan tiphus juga tetap masih mengancam. Namun, dokter-dokter kita merupakan pakar yang sangat terlatih dalam menghadapi penyakit tropis. Dengan pengalaman ratusan tahun, dari sejak jaman kolonial Belanda, dokter kita telah menangani berbagai macam penyakit tropis. Para dokter dari negara maju, bisa dipastikan tidak akan bisa menangani penyakit tropis sebaik dokter kita, karena pengalaman mereka sehari-hari memang tidak menjumpai penyakit seperti demikian. Cultural and Humanity Studies :Indonesia sebagai “Magnet Kultural”. Indonesia merupakan bangsa yang memiliki kekayaan budaya paling lengkap. Dengan 300 suku bangsa, yang memiliki bahasa sendiri-sendiri (bukan dialek), menjadikan Indonesia sebagai tempat paling ideal untuk studi kemanusiaan. Indonesia telah memiliki pakar ilmu kemanusiaan, seperti alm Prof Koentjaraningrat dan alm Prof Parsudi Suparlan, yang telah memberi warna bagi perkembangan sains kemanusiaan Indonesia. Dinamika sosial kemanusiaan yang luar biasa di Indonesia, seperti interaksi antar kelompok, interaksi antar suku, interaksi intra suku, dll, menjadikan Indonesia sebagai kajian yang sukar ditandingi oleh negara maju sekalipun. Justru banyak peneliti dari negara maju, yang datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian di bidang ilmu kemanusiaan. Contoh yang paling terkenal, adalah Clifford Geertz, yang membagi Islam di Jawa menjadi tiga kelompok, santri, priayi dan abangan dan Snouck Hourgrenje, yang membedakan peran ulama dan hulubalang di Aceh. Walau teori mereka banyak dikritisi, namun hal itu sudah menjadi contoh, bahwa Indonesia memang merupakan ‘magnet kultural’ yang luar biasa. Salah satu hal yang segera harus dibenahi, adalah supaya Indonesia bisa konsisten dalam pengembangan sains kemanusiaan, sesuai dengan tradisi yang diterapkan oleh Prof Koen dan Prof Parsudi. Political Studies : Indonesia sebagai Salah Satu Negara Demokrasi Terbesar di Dunia. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Berbeda dengan Amerika Serikat, yang memilih presiden lewat sistim elektoral, Indonesia memilih presiden secara langsung. Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia memiliki situasi politik yang sangat dinamis, mungkin yang paling dinamis di asia. Pemilu 2009 akan menjelang, dan situasi politik kita akan semakin dinamis. Inilah merupakan saat-saat yang paling menarik untuk melakukan kajian politik. Di era reformasi ini, banya istilah politik baru yang diperkenalkan. Salah satunya adalah ‘quick count’, dimana peneliti mengambil sampel dari pemilih untuk memprediksi siapa pemenang pemilu daerah dan nasional. Dalam kebanyakan kasus, prediksi mereka tepat. Teknologi Informasi (TI): Dimana Open Source bisa Berperan. Hal ini sudah sangat jelas. Jika ingin melakukan penelitian yang high tech, namun dengan biaya yang sangat terjangkau, maka TI merupakan salah satu pilihan logis. Platform Linux, yang merupakan sistim operasi Open Source, telah memungkinkan dilakukannya riset TI high tech, namun dengan biaya rendah. Bahkan Indonesia telah membangun distro linux sendiri. Mengenai TI, sedang dibahas artikel saya di Netsains.


0 Responses