WISATA YANG HILANG

Keberaksaraan merupakan hal baru dalam menembus batas nilai-nilai masyarakat kita. Sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas, asal-usul masyarakat, kearifan lokal mengenai pengetahuan, dan lainnya masih mengandalkan tradisi dalam dimensi kelisanan, budaya tutur. Bertutur, menuturkan, dan dituturkan oleh sang penutur.

Budaya tutur bertahan cukup lama dan telah menjadi semacam ekspresi estetik masyarakat di tiap-tiap daerah, di suku-suku yang tersebar di seantero Nusantara. Ekpresi atas serangkaian manifestasi dialektika dari unsur kebudayaan pendahulu yang saling bersinergi membentuk pola penghubung dengan masa selanjutnya, sebuah pakem dalam komunikasi tradisi. Namun, ketika sebagian kalangan menganggap bahwa tradisi tulis itu memunyai nilai lebih tinggi atau lebih maju karena mengikuti perkembangan arus zaman, maka eksistensi budaya tutur terlihat semakin dekaden, bahkan hampir punah.

Budaya tutur masih dinilai sebagai ruang ekspresi tradisi dan wacana sebelum ditulis, yang memiliki imej kuno. Dengan kata lain, budaya tutur dilemahkan dan dimandulkan secara sistematis. Budaya tutur kemudian hanya merupakan sebuah peninggalan ruang lisan dari anggota masyarakat yang merawat hidup sebelum keberaksaraan dituliskan dalam simbol alfabetisasi, tidak lebih dan tidak kurang.

Bila menghormati tradisi akademik, sejarah bahasa tulis merupakan sintesis bahasa formal tertulis yang mengikuti persyaratan logika keberaksaraan hingga dimengerti sebagai bahasa pengantar informasi, sebuah keberaksaraan yang disepakati pemakai bahasa. Namun ada yang hilang ketika tutur dalam tradisi lisan itu dituliskan tanpa kemudian menyertakan kaidah pembacaan dan kunci-kunci pemaknaannya. Roh atau spirit, suasana, dan konteks tak tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam kelisanan, tereduksi oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau dikembalikan menjadi terbaca. Sebuah usaha yang akan sia-sia.

Persoalan ini tidak bisa lepas dari konsepsi “kemapanan”, suatu corak yang dibawa oleh modernisme. Budaya tutur yang merupakan corak masyarakat kuno (awam) dipandang, misalnya, sebagai penghambat kemajuan bangsa. Supaya suatu bangsa menjadi maju seiring arus zaman, maka budaya tutur harus diubah kepada budaya menulis, karena tradisi tulis-menulis selalu identik dengan kemajuan sebuah peradaban keilmuan.

Sebetulnya, tradisi keilmuan tidak harus menjadi sangat feodalistik dan angker. Takhta logika dan kebenaran yang selama ini kental dengan kultur keilmuan, diubah menjadi takhta tempat menghakimi benar dan salah. Dari bantah-membantah antara tutur dengan tulis dari berbagai pihak yang merasa disudutkan, sampai dengan bolak-baliknya kajian keilmuan yang terus diusung tanpa ragu untuk membungkam satu dan yang lainnya. Itulah fakta yang semakin meruntuhkan kredibilitas budaya tutur di negeri ini. Pendapat ini menciptakan adanya tendensi yang seakan menutup mata dengan apa yang sebenarnya ada.

Karena itu, tidak dapat kita pungkiri, dalam keilmuan modern (baca Barat) Indonesia, baik yang berkenaan dengan ekspresi proses verbal maupun dalam bentuk kajian tulisan dari segi kuantitas lebih mendominasi, kajian-kajian budaya tutur cenderung dinomorduakan. Bila itu dilakukan dan akhirnya budaya tutur terpinggirkan, maka malapetaka bagi bangsa ini, bangsa yang sesungguhnya telah jauh meninggalkan budaya tulis dan menggantinya dengan simbolik dalam budaya tutur.

Sejauh ini, memang belum ada perintah siapa pun untuk melarang orang bertutur. Tetapi, budaya bertutur itu-- budaya duduk bersama, budaya berbincang, budaya dialog, dan budaya kerja sama--telah menghilang dari sebagian diri kita. Sebagian mengambil alasan karena kesadaran kita yang nyatanya telah menghegemoni dengan keadaan baru. Tetapi sebagian lagi mengaku bahwa budaya tutur telah dikebiri dengan alasan yang belum jelas.

Tradisi harus dirawat untuk kemudian menjadikan sebuah pandangan bagi realitas, di mana tradisi yang masih ada adalah yang memang diperlukan dan bukannya dipaksa untuk angkat kaki atau kita dipaksa meninggalkan tradisi yang sesungguhnya masih baik untuk kita. Mau tidak mau hal itu merupakan kesadaran kolektif ketika kita menentukannya. Bila salah satu belum dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian dihadapkan pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah dalam pembatinan rahim tradisi? Lebih khusus lagi, apabila seseorang belum meminum dari sumur-sumur tradisinya, apakah akan meloncat dalam keadaan terpecah ke dalam tradisi mutakhir yang menerpanya?

Bila citra kita sekarang buruk dalam melihat budaya tutur dalam tradisi yang, katanya, modern di bangsa ini, lantas apa yang mau diharapkan dari bangsa ini? Budaya tutur bukan hanya bertutur melainkan darinya banyak pesan yang disampaikan. Ada ruh yang menjiwai tutur. Ada yang tersirat dari yang tersurat, di mana bahasa tak hanya berkutat dalam tataran verbal dan lateral juga body language, juga interaksi simbolik, menjadikan sebuah identifikasi, penanda diri. Tapi apakah mungkin merupakan jati diri?

Dalam sebuah gambaran aplikasi sederhana, budaya tutur apabila diterapkan pada saat ini mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar bangsa mulai dari tingkatan paling dasar sebuah bangsa. Budaya tutur mampu menjawab persoalan-persoalan klise sebuah keluarga, karena dalam budaya tutur, interaksi emosional antara orangtua dengan anak, jembatan komunikasi antara orangtua dengan anak, serta kepercayaan antara orangtua dengan anak dibangun dengan sendirinya dalam proses bertutur tersebut. Orangtua akan mendapat kepercayaan penuh sang anak, sementara sang anak akan mendapatkan sosok yang dapat diajak berbicara, karena dalam budaya tutur selalu terjadi proses dialektika. Budaya tutur adalah konteks, bukan hanya sekadar teks itulah wisata yang telah hilang saat ini.